TANGSELIFE.COM – Jagat maya tengah diramaikan oleh sebuah istilah silent majority yang muncul setelah pemilihan umum berakhir.
Ketua Tim Kampanye Daerah (TKD) Prabowo-Gibran di wilayah Jawa Barat yakni Ridwan Kamil menyebutkan istilah ini setelah paslon nomor urut 2 unggul dalam quick count atau perhitungan cepat Pemilu 2024.
Istilah ini disampaikan Ridwan Kamil melalui akun Instagram pribadinya @ridwankamil.
“Pelajaran Silent Majority sudah berbicara. Siapa mereka? Mereka yang menyimak, tetapi jarang komen. Mereka yang jarang ribut di media sosial tiap akun ini posting #politik,” tulis mantan Gubernur Jawa Barat itu.
Dalam unggahan yang sama, tokoh yang akrab disapa Kang Emil ini mengatakan bahwa selama ini media sosial diramaikan oleh Noisy Minority.
Menurutnya, Noisy Minority bukan ukuran sebenarnya yang sama di lapangan.
“Bulian atau ejekan di media sosial tak pernah kami jawab. Cukup kami jawab dengan kerja-kerja terukur di lapangan,” ucap Kang Emil.
Apa itu Silent Majority?
Silent Majority menurut Merriam-Webster adalah bagian terbesar dari populasi suatu negara yang terdiri atas orang-orang yang tidak terlibat aktif dalam politik dan tidak mengungkapkan pendapat politiknya di hadapan umum.
Dari definisi tersebut diketahui bahwa silent majority merupakan pemilih yang memiliki preferensi politik tertentu, namun memilih untuk diam dan tidak menyuarakan secara terbuka soal pilihannya.
Apabila melihat dari fenomena yang terjadi di AS dan hasil quick count Prabowo, istilah ini memberikan peluang suatu pihak untuk memenangkan pemilihan.
Asal Usul Silent Majority
Dari jurnal yang dipublikasikan Economics Letters, silent majority dipopulerkan oleh Presiden Richard Nixon pada 1969 selama kampanye paruh waktu yang disebut sebagai ‘sekelompok besar orang Amerika konservatif’ yang tak mengungkapkan pendapat secara terbuka.
Menurut Nixon, istilah ini menunjukkan perbedaannya dengan pihak minoritas yang secara aktif berdemonstrasi menentang perang Vietnam.
Tak hanya Nixon, presiden ke-45 AS yang dikenal Donald Trump juga mempopulerkan silent majority.
Selama masa kampanye kepresidenan pada 2016, Trump selalu menggunakan istilah tersebut untuk menyapa para pendukungnya.
Pada saat itu mereka yang menggambarkan istilah tersebut memilih bersikap diam, namun mereka menggunakan bilik suara untuk tetap membuat suara mereka ‘didengar’.
Sampai sekarang istilah tersebut dinilai tak asing digunakan di ranah politik dan pemilu. Bahkan, sudah banyak digunakan di sejumlah negara termasuk Indonesia.
Contoh Silent Majority dalam Pemilu
Contoh silent majority dalam pemilu berkaitan dengan masyarakat dalam kelompok besar yang secara tertutup menyatakan dukungan kepada salah satu pasangan calon.
Kelompoknya memilih untuk menutup secara rapat pendapat mereka dan mungkin tak mengungkapkan dukungan secara terbuka karena berbagai alasan tertentu.
Hasil dari keputusan silent majority baru akan nampak pada hari pemungutan suara.
Selain itu, survei dan jajak pendapat belum tentu bisa mengukur preferensi pihak yang memilih diam secara tepat.
Dampak Silent Majority
Sikap mayoritas yang diam dalam konteks pemilu ini bisa memberikan berbagai dampak. Merangkum dari sejumlah sumber, ini dampak dari silent majority dalam pemilu:
- Suara dari kelompok yang memilih diam sulit terdeteksi jajak pendapat sehingga bisa membuat kejutan tersendiri di hasil pemilu
- Menimbulkan kontrobersi lantaran sulit dilakukan verifikasi atas klaim istilah tersebut
- Kerap dijadikan narasi politik oleh kandidat tertentu untuk mengklaim basis massa yang lebih besar
- Membuat hasil pemilu jadi tak mudah diprediksi karena efek suara ‘tak terdengar’ ini
- Kandidat yang mampu menarik dukungan dari pihak yang memilih diam berpotensi memenangkan pemilihan karena mereka mewakili suara sebagian besar mayoritas yang diam.