TANGSELIFE.COM – Baru-baru ini, istilah Wahabi mencuat dan ramai diperbincangkan netizen di Indonesia.
Selain Wahabi, istilah Salafi turut menjadi perbincangan netizen di media sosial (medsos).
Istilah Wahabi dan Salafi menjadi rancu karena Salafi sering dianggap sama dengan Wahabi.
Istilah Wahabi sendiri diperbincangkan setelah insiden pengusiran ustaz Syafiq Riza Basalamah pada sebuah acara pengajian di Surabaya pada Kamis 22 Februari 2024 lalu.
Ustaz Syafiq Riza Basalamah diusir lantaran muncul tuduhan bahwa acara pengajian tersebut menyebar radikalisme.
Sejumlah pihak menganggap ajaran yang mendukung penyebaran paham radikal adalah Wahabi.
Perbedaan Wahabi dan Salafi
Kaum radikal yang dilabeli sebagai Wahabi tak hanya melekat di tengah masyarakat Indonesia, melainkan termasuk di negara-negara Barat.
Di satu sisi, para pengikut Wahabi mengklaim pemikiran mereka merupakan kelanjutan dari kelompok Salafiah versi Ibnu Taimiyah.
Stigma radikal muncul ketika kelompok yang kontra pemikiran menganggap ajaran Salafi sebagai golongan pengikut ‘buta’ tokoh pembawa ajaran Salafi, Muhammad bin Abdul Wahhab.
Dengan demikian, istilah Wahabi umumnya digunakan oleh orang-orang di luar kelompok ajaran tersebut.
Sementara, kelompok yang mengikuti ajaran itu disebut sebagai Salafi.
Label Wahabi sering dianggap terlalu menyederhanakan kompleksitas gerakan-gerakan ajaran ‘pemurnian’ atau salafi, sehingga disalapahami sebagai pengikut Bin Abdul Wahhab.
Faktanya, Abdul Wahhab yang hidup di zaman raja pertama Saudi Abdul Aziz bin Saud, hanya satu dari sekian banyak ulama yang membawa ajaran ‘pemurnian’.
Abdul Wahhab membawa ajaran ‘pemurnian’ untuk menangkal praktik keagamaan yang dinilai bid’ah atau yang tidak pernah dilakukan di zaman Rasulullah SAW dan para sahabat.
Salah satu rujukan utama Abdul Wahhab berasal dari mazhab Hambali yang dikenal sebagai mazhab resmi Saudi.
Usai Abdul Wahhab, muncul generasi ulama selanjutnya di Saudi yang juga mencoba memunculkan kembali ajaran ‘pemurnian’ seperti Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
Namun, Abdul Aziz dan Muhammad tak menjadikan Abdul Wahhab sebagai rujukan upaya ‘pemurnian’ yang mereka bawa di Saudi.
Abdul Aziz dan Muhammad merujuk langsung pada Al Quran dan Hadis, dengan referensi yang didominasi dari mazhab Hambali seperti yang dilakukan Abdul Wahhab.
Pakar kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Sya’roni Rofii, berpendapat bahwa Wahabi merupakan nama kelompok keagamaan, yang didirikan Muhammad bin Abdul Wahab, sementara ajarannya menganut paham Salafi.
“Salafi artinya kembali ke masa lampau. Kelompok Salafi berkeyakinan hanya Quran dan Hadis (dipercaya) sebagai sumber ajaran, ruang untuk ijtihad dan akulturasi budaya ditutup rapat,” jelas Sya’roni.
Dengan demikian, Salafi merupakan paham ajaran Islam yang mencoba mengembalikan ketauhidan murni menurut pemahaman penganutnya.
Paham ini memurnikan Islam dari bentuk mistik, doktrin, perantara, rasionalisme, ajaran Syiah, dan praktik-praktik keagamaan yang dianggap bid’ah.
Adapun, Salafi merupakan bentuk asal dari kata as salaf.
Secara epistimologis menurut Idharam dalam buku ‘Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi’, kata ‘as salaf’ bermakna orang-orang yang hidup sebelum zaman kita.
Dalam buku itu, as salaf dimaknai sebagai generasi tiga abad pertama setelah Nabi Muhammad SAW meninggal.
As salaf juga berasal dari kalangan Sahabat Nabi saat masa tabi’in atau ulama-ulama segenerasi, satu atau dua generasi setelah Rasulallah SAW.
Lebih lanjut, Idharam berpendapat setiap umat Islam memiliki kadar kesalafian tanpa harus mengenalkan diri sebagai salafi.
Di sejumlah negara Arab selain Saudi, salafi berkembang sejak puluhan tahun seperti di Yaman dan Qatar yang dibawa ulama-ulama selain ulama Salaf dari Saudi seperti Bin Abdul Wahhab hingga Bin Baz.