TANGSELIFE.COM – PKBSI (Perhimpunan Kebun Binatang se-Indonesia) merupakan organisasi nirlaba yang didirikan oleh para tokoh dan penyayang binatang pada 5 November 1969.
Kini jumlah anggota PKBSI terus bertambah seiring bertumbuhnya kebun binatang/taman satwa/taman safari yang terdaftar di pemerintah.
Terhitung saat ini ada 63 anggota PKBSI yang tersebar dari Aceh sampai Papua.
Berbagai upaya dilakukan oleh organisasi PKBSI untuk menumbuhkembangkan kecintaan dan kepedulian terhadap pentingnya konservasi satwa Indonesia, salah satunya melalui kegiatan ‘Action Indonesia Day’ yang dirayakan setiap tahun pada bulan Agustus mengambil momentum perayaan Hari Kemerdekaan RI.
Tahun 2024 ini, kegiatan tersebut mengusung tema ‘Action Indonesia Day: Ayo Ikut Serta & Dukung Upaya Konservasi Satwa Liar melalui Kebun Binatang’.
Kebun binatang/taman satwa/taman safari wajib mengutamakan peran dan fungsi mereka sebagai lembaga konservasi ex-situ yakni sebagai tempat konservasi untuk mengembangbiakan satwa langka di luar habitatnya.
Diketahui, tata-rata ada sekitar 23% koleksi satwa yang ada di kebun binatang di dunia merupakan jenis yang terancam punah.
Dalam hal ini lembaga konservasi memiliki banyak peran bersama para pengelola kebun binatang yang biasanya punya program yang fokus pada spesies tertentu.
Misalnya saja untuk hewan Jalak Bali. Sekitar 15-20 tahun ke belakang hanya tersisa 5 pasang yakni 10 ekor dan mereka adalah satwa endemik di Bali yang hanya ada di Taman Nasional Bali Barat.
Dengan hanya 10 ekor saja, apabila mereka tak bisa saling menemukan pasangannya satu sama lain, mereka akan punah di alamnya.
“Jadi satwa-satwa khususnya Jalak Bali ini ada di berbagai tempat di dunia ini, bahkan ada yang di Eropa, ada yang di Amerika. Itu mereka pasti memiliki satwa yang dikembangbiakan, salah satunya Jalak Bali,” tutur drh. M. Piter Kombo dalam acara Action Indonesia Day yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 21 Agustus 2024.
Tak menutup kemungkinan, genetik-genetiknya yang ada di samping zoo-zoo tertentu itu terbatas.
“Karena itu, biasanya kalau awalnya pelihara 2 pasang anaknya pasti, darah bapak dan ibunya. Anak ini tentunya tak bisa dipasangkan kembali dengan saudaranya karena nanti inbreeding genetiknya,” lanjut Piter.
Dalam hal ini PKBSI menghubungkan dua kebun binatang yang memiliki Jalak Bali.
“Anggaplah di Bogor ada, di Surabaya ada. Pastinya di sini ada peran KLHK juga untuk mendukung itu tadi, agar bisa terus berjalan, adanya pertukaran, adanya program hibah satwa, untuk bisa memberikan darah yang baru sehingga genetiknya kembali bagus,” jelas Piter.
Ketika genetik hewan tersebut sudah kembali bagus, jumlah satwa yang dikembangbiakan secara terkontrol itu sudah memenuhi batas standarnya, di sini peran lembaga konservasi berikutnya adalah reintroduksi.
Reintroduksi yang dilakukan juga tak bisa sembarangan. Ada sejumlah tahapan yang penting, bagaimana membiasakan kembali pakan-pakanyang ada di alam hingga waktunya satwa tersebut dilepas liar kembali.
“Kalau kita cerita Jalak Bali ini, saat ini di Bali sudah ada lebih dari enam titik, di mana populasi Jalak Bali saat ini sudah bisa dibilang kategori yang stabil, di mana mereka berhasil bertahan kembali. Jadi di titik tadi yang sisa 10 ekor, disitu kita lepas beberapa ekor dari hasil pengembangbiakkan satwa, itu bisa menghidupkan kembali,” pungkas Piter.