TANGSELIFE.COM- Pemateri Pengajian MUI Tangsel, Sirojudin Mukhtar, mengangkat pembahasan fikih yang jarang dikaji di ruang publik, yakni hukum wudhu saat bencana alam.

Materi tersebut disampaikan dalam Kajian Kitab Kuning MUI Kota Tangsel yang digelar di Islamic Center Baiturrahmi BSD, Kecamatan Serpong, pada Rabu 17 Desember 2025.

Dalam pemaparannya, Sirojudin menjelaskan bahwa hukum wudhu saat bencana dapat berstatus haram apabila dilakukan dalam situasi darurat tertentu, khususnya ketika ketersediaan air bersih sangat terbatas dan dibutuhkan untuk kebutuhan pokok seperti minum dan memasak.

Kajian tersebut merujuk pada kitab At-Taqrirorutssadidah.

Menurut Sirojudin, hukum Islam memiliki prinsip prioritas kebutuhan, di mana menjaga kelangsungan hidup manusia harus didahulukan dibanding penggunaan air untuk bersuci.

Hukum Wudhu Saat Bencana Bisa Menjadi Haram

“Dalam kondisi bencana, saat air sangat dibutuhkan untuk kebutuhan dasar, penggunaan air berlebihan untuk wudhu, bahkan hingga membasuh tiga kali setiap anggota tubuh dapat menjadikan wudhu itu berstatus haram,” ujarnya di hadapan jemaah.

Ia menekankan bahwa Islam mengenal hirarki kebutuhan dan tidak membenarkan praktik ibadah yang mengabaikan kondisi darurat. Menurutnya, pemahaman semacam ini penting agar umat tidak terjebak pada apa yang ia sebut sebagai fikih ekstrem.

“Fikih ekstrem itu terjadi ketika seseorang memaksakan praktik bersuci tanpa mempertimbangkan kondisi nyata dan kebutuhan dasar manusia, terutama ketika air menjadi sumber yang sangat langka,” jelasnya.

Sirojudin juga memberikan contoh kondisi darurat lain, seperti pada seseorang yang mengalami penyakit beser atau tidak dapat menahan buang air kecil. Dalam keadaan tersebut, seseorang tetap diperbolehkan berwudhu dan melaksanakan shalat dengan ketentuan tertentu.

“Orang yang mengalami beser tetap sah shalatnya karena ada uzur syar’i. Cukup menggunakan alat bantu agar tidak mengotori tempat shalat,” katanya.

Sementara itu, pemateri lainnya, Al Mahdi Akbar, yang membahas kitab Bidayatul Mujtahid, mengajak para jemaah untuk menjalankan ibadah dengan merujuk pada dasar keilmuan yang kuat. Kitab karya Imam Al-Ghazali tersebut, menurutnya, menjadi panduan penting dalam perjalanan spiritual seorang muslim.

Ia menjelaskan bahwa Bidayatul Mujtahid membahas tata cara menjalani kehidupan sehari-hari secara komprehensif, mulai dari bangun tidur, bersuci, menjauhi perbuatan maksiat, hingga membangun hubungan sosial yang baik antar sesama manusia.

Antusiasme jemaah terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan, mulai dari tata cara ibadah saat musibah, pelaksanaan shalat dalam perjalanan, hingga persoalan sederhana dalam praktik ibadah harian.

Kajian ini sekaligus menjadi penutup rangkaian pengajian MUI Kota Tangsel sepanjang tahun 2025. Meski demikian, para jemaah berharap kegiatan kajian kitab kuning dapat kembali dilanjutkan pada tahun mendatang karena dinilai memberikan pencerahan dan pemahaman keislaman yang aplikatif.

Dapatkan Berita Terbaru lainya dengan Mengikuti Google News Tangselife
sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Tangselife
Follow
Nadia Lisa Rahman
Editor
Nadia Lisa Rahman
Reporter