TANGSELIFE.COM-Protes besar-besaran dilakukan fans BTS yaitu ARMY di seluruh dunia terhadap perusahaan label HYBE yang membawahi agensi Kim Namjoon dkk.
Penggemar menaikkan tagar #NoDynamicPricing yang telah trending sepanjang Rabu 3 Mei 2023 kemarin terkait pemberlakukan dynamic pricing.
Lantaran pemberlakuan dynamic pricing dianggap merugikan penggemar BTS dan hanya memakmurkan perusahaan.
Untuk diketahui, dynamic pricing dapat diartikan sebagai satu strategi dalam revenue management yaitu pemberian harga yang berbeda-beda selama waktu penjualan baik tiket konser maupun merchandise BTS.
Penerapan dynamic princing yang dilakukan HYBE ini mempengaruhi tiket konser artis-artis di bawah naungan perusahaan itu diantaranya BTS, TXT dan musisi Korea lainnya.
Dalam skema dynamic pricing fans tidak lagi bisa berpatokan pada harga tiket awal, karena harga bisa berubah ketika peminat konser artis di bawah naungan HYBE tinggi.
Karena semakin tinggi permintaan tiket konser, akan semakin tinggi juga perubahan nilai atau harga tiket yang akan diberlakukan.
Dynamic princing itu terungkap saat HYBE mengumumkan laporan keuangan untuk kuartal pertama (Q1) tahun 2023 dan menjawab pertanyaan dari para investor (conference call) pada Selasa 2 Mei 2023.
Dalam pemaparan itu, Chief Financial Officer (CFO) HYBE Lee Kyung-jun juga menjawab pertanyaan tentang dynamic pricing yang mereka terapkan dalam konser Suga BTS dan TXT di Amerika Serikat.
HYBE mengatakan bahwa untuk konser-konser dengan permintaan yang sangat tinggi, mereka memilih opsi penerapan dynamic pricing.
Konsep dynamic pricing itu sudah diterapkan dalam dua konser yang disebutkan di atas. Mereka juga berencana menerapkannya di Jepang dan negara lainnya dengan nama yang berbeda.
Sebagai ilustrasi penerapan dynamic pricing dalam konser Suga, terdapat kategori yang disebut Platinum Ticket.
Pada kategori ini, harga tiket awalnya dijual seharga kurang lebih USD120-USD170 (Rp1,7 juta-Rp2,5 juta) per tiket.
Saat pembeli telah memilih harga tersebut, mereka lalu melanjutkan proses transaksi dengan memilih model pembayaran dan selanjutnya.
Saat proses penyelesaian transaksi ini berlangsung, sistem juga mencatat bahwa kursi tiket tersebut juga sedang banyak diburu penggemar lainnya.
Dari sinilah dynamic pricing diberlakukan, dan harga tiket yang tadinya hanya ratusan dolar itu pada akhirnya bisa melonjak menjadi total USD1.000 (Rp14,7 juta).
Praktik penjualan tiket yang tidak adil inilah yang ramai-ramai diprotes ARMY. Selain membuat tagar #NoDynamicPricing dan #NoToDynamicPricing.
Tagar ini menjadi trending di Amerika Serikat, Korea Selatan, juga di Indonesia, mereka juga beramai-ramai membatalkan pesanan merchandise di Weverse Shop.
Dalam formulir pembatalannya, ARMY menulis bahwa mereka melakukannya demi memprotes penerapan dynamic pricing.
Mereka bahkan menegaskan bahwa ada banyak cara jika perusahaan ingin mendapatkan profit yang tinggi, misalnya dengan merilis DVD dari konser lama atau merilis merchandise lainnya.
Bukan dengan menerapkan dynamic pricing. Dengan penerapan harga tersebut, ARMY merasa mereka yang memiliki bujet terbatas untuk menonton akan semakin sulit membeli tiket konser.
Tiket akan sangat mungkin jatuh ke calo yang akan kembali menjualnya dengan harga yang jauh lebih mahal lagi.
Protes akan dynamic pricing bukan kali ini saja terjadi pada konser-konser musik di Amerika Serikat untuk musisi ternama.
Terbaru adalah kasus konser Taylor Swift The Eras Tour yang membuat para penggemar sang penyanyi berencana mengajukan tuntutan hukum ke Ticketmaster.
Selama ini, Ticketmaster memang memonopoli penjualan tiket artis-artis ternama dunia di Amerik Serikat dan beberapa negara lain.
Ticketmaster juga sudah pernah diajukan ke meja pengadilan, salah satunya oleh band Pearl Jam pada 1994 tapi praktek itu tidak pernah dihentikan dan kembali terulang.