TANGSEL.COMPolusi udara di Kota Tangerang Selatan tinggi, Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Pemkot Tangsel) melakukan berbagai upaya.

Salah satunya, Wali Kota Tangerang Selatan Benyamin Davnie mengimbau warga tetap menggunakan masker saat bepergian atau berada di luar ruangan.

Imbauan Benyamin Davnie bukan hanya dilatarbelakangi polusi udara tinggi, tapi sekaligus menyusul maraknya pemberitaan mengenai kondisi kualitas udara yang rendah di Kota Tangerang Selatan.

Pemerintah Kota Tangerang Selatan juga melakukan berbagai upaya lain dalam menghadapi polusi udara yang salah satunya disebabkan fenomena El Nino.

Polusi Udara Tinggi, Begini Upaya Pemkot Tangsel

Berkenaan dengan tingkat polusi udara yang tinggi, Pemkot Tangsel meningkatkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah Kota Tangsel.

“Kita imbau untuk warga menggunakan masker,” ujar Benyamin di Puspemkot, Jumat Agustus 2023.

“Kita juga meningkatkan ruang terbuka hijau dan kapasitasnya dengan ekstensifikasi penanaman pohon-pohon pelindung,” jelasnya.

Disamping itu, Pemkot Tangsel menjalankan program kampung iklim sebagai ajakan pada masyarakat untuk menanam pohon, serta melakukan uji emisi gas buang kendaraan bermotor.

Lebih jauh, Pemkot Tangsel memberlakukan sanksi bagi warga yang membakar sampah.

“Kita juga beri sanksi buat para pembakar sampah,” tegasnya.

Pemkot juga melakukan pemantauan udara menggunakan alat terakreditasi, yakni HVAS (High Volume Air Sampler), yang dilakukan oleh laboratorium yang diakui KAN (Komite Akreditasi Nasional).

Kualitas Udara di Kota Tangsel Masih Bisa Diterima

Berdasarkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di tanggal 10 Agustus 2023, kualitas udara Kota Tangsel berada di angka 94 dengan baku mutu PM 2,5.

Benyamin klaim atas dasar PP Nomor 22 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan dan perlindungan lingkungan hidup, angka tersebut masih dapat diterima.

“Artinya kualitas udara di Tangerang Selatan masih dapat diterima pada kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan,” ucap Benyamin.

Pemantauan dilakukan di 12 titik dengan metode masive sampler, dimulai dari Kecamatan Setu, Pondok Aren, Serpong hingga Ciputat Timur, bahkan di lingkungan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika).

Monitoring secara realtime juga dilakukan oleh Sistem Pemantauan Kualitas Udara Ambien (SPKUA) yang berlokasi di Taman Kesehatan, Serpong.

Dalam alat SPKUA dilakukan pemantauan terhadap 7 parameter yaitu PM10, PM2,5, SO2, CO, O3, NO2 dan HC.

Hasilnya, tidak ditemukan tingkat mutu udara yang bersifat merugikan, meningkatkan risiko, hingga merugikan kesehatan.

“Terkait keadaan polusi udara, kita juga bertanggungjawab mengedukasi masyarakat bahwa keadaan udara tidak hanya diukur dengan partikuler meter, kemudian mengambil kesimpulan,” jelas Benyamin.

Mengingat kandungan apa yang terdapat dan berbahaya dalam partikel udara di sekitar harus dipelajari secara lebih mendalam.

“Bagaimana cara mengambil samplenya, metodologi sampling, seperti apakah yang benar-benar sudah menguji sampel, berapa persen dari 54 kelurahan dan 7 kecamatan yang ada di Tangerang Selatan,” terangnya.

Oleh karena itu, Benyamin berharap masyarakat tidak terburu-buru menyebarkan informasi terkait buruknya kondisi udara tanpa informasi lengkap.

Media Asing Soroti Polusi Udara Jakarta

Adapun media asing turut menyoroti tingginya polusi udara di Jakarta.

Reuters memberitakan mengenai kualitas udara Jakarta yang sangat buruk menurut data perusahaan teknologi kualitas udara Swiss, IQAir.

“Jakarta, yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa, mencatat tingkat polusi udara yang tidak sehat hampir setiap hari,” kata Reuters.

Media AFP pun turut mengungkapkan bahwa polusi di Jakarta disebabkan oleh kemacetan, emisi kendaraan, dan kondisi cuaca.

“Jakarta dan sekitarnya membentuk megalopolis berpenduduk sekitar 30 juta orang, dan konsentrasi partikel kecil di udara yang dikenal sebagai PM2.5 telah melampaui kota-kota berpolusi berat lainnya seperti Riyadh, Doha, dan Lahore akhir-akhir ini,” tulis AFP.

AFP memberitakan para aktivis menyalahkan kabut asap beracun tingkat tinggi dari sekelompok pabrik dan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di dekat kota.

Greenpeace Indonesia mengatakan terdapat 10 pembangkit listrik batu bara dalam radius 100 km dari Jakarta.