TANGSELIFE.COM – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyerukan kepada pemerintah di seluruh negara untuk stop penggunaan vape atau rokok elektrik dengan varian rasa layaknya rokok tembakau atau rokok konvensional.

Pihak mereka juga mendesak negara-negara di seluruh dunia untuk memperlakukan rokok elektronik sama seperti rokok tembakau pada umumnya.

Dikutip dari Reuters, WHO menegaskan bahwa penggunaan vape dilarang di 34 negara pada Juli tahun ini.

Beberapa di antaranya adalah Brazil, India, Iran dan Thailand.

Akan tetapi, tak sedikit juga negara sulitan menegakkan aturan penggunaan rokok elektrik.

Saat ini para peneliti, aktivis, dan pemerintah melihat rokok elektrik atau vape dijadikan sebagai alternatif lebih sehat dari rokok konvensional yang menjadi penyebab sejumlah penyakit kronis.

Namun, WHO baru mengatakan bahwa negara harus mengambil langkah lebih serius untuk stop penggunaan vape.

Mereka menjelaskan bahwa tak ada cukup bukti kalau vape membantu perokok untuk berhenti merokok.

Penelitian justru menemukan bahwa vape berbahaya bagi kesehatan dan bisa memicu kecanduan nikotin di kalangan non-perokok, terutama remaja dan anak-anak.

Hingga kini semakin banyak anak usia 13-15 tahun menggunakan vape dibandingkan dengan orang dewasa di seluruh wilayah WHO karena iklan yang agresif.

“Anak-anak diajak dan dijebak pada usia dini menggunakan rokok elektrik dan mungkin kecanduan nikotin,” jelas Tedros Adhanom Ghebreyesus selaku Direktur Jenderal WHO.

Oleh sebab itu, WHO menyerukan stop penggunaan vape lebih ketat, termasuk larangan semua bahan penambah rasa seperti mentol, pajak yang tinggi, dan larangan penggunaan di tempat umum.

WHO bersama beberapa organisasi anti-tembakau lainnya mendorong peraturan yang lebih ketat terhadap produk nikotin baru dengan menargetkan alternatif yang menjadi landasan beberapa perusahaan rokok raksasa seperti Philip Morris International (PM.N) dan British American Tobacco (BATS.L).

Terkait dengan imbauan stop penggunaan vape, WHO mengungkapkan rokok elektrik dengan perasa menghasilkan beberapa zat yang diketahui menimbulkan risiko penyakit kanker, risiko terhadap kesehatan jantung dan patu-paru, serta bisa mempengaruhi perkembangan otak pada generasi muda.

Meskipun imbauan WHO tak bersifat wajib, banyak negara yang mengikuti saran tersebut secara sukarela.