TANGSELIFE.COM – Puluhan aktivis lingkungan dari Greenpeace Indonesia menggelar aksi damai di depan kantor Grha Unilever di Jalan BSD Grand Boulevard, Kamis, 20 Juni 2024.
Dalam aksi tersebut para aktivis mengembalikan sampah kemasan saset berbahan dasar plastik dari produk-produk yang dihasilkan Unilever.
Para aktivis Greenpeace juga turut membuat replika logo perusahaan Unilever yang identik dengan huruf U raksasa dari bahan dasar sampah plastik kemasan saset.
Aksi itu juga dilakukan bertepatan dengan diselenggarakannya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) perusahaan dengan kode emiten ULVR tersebut.
Plastics Project Leader Greenpeace Indonesia, Ibar Akbar mengatakan, aksi tersebut merupakan respon sebagai pengingat kepada pihak Unilever agar bertanggungjawab terhadap produk yang dihasilkannya selama ini.
“Kita sebelumnya telah mengumpulkan sampah dari publik, apa yang kita temukan hari ini kita kembalikan ke Unilever. Artinya di sini produsen selaku pemilik sampah sebenarnya,“ kata Akbar di depan Grha Unilever, Kamis, 20 Juni 2024.
Sampah kemasan saset yang saat ini dikembalikan ke Unilever merupakan hasil pengumpulan yang dilakukan oleh aktivis greenpeace dan masyarakat umum selama satu pekan.
Dari proses tersebut, Greenpeace berhasil mengumpulkan sampah kemasan saset berbahan dasar plastik sebanyak 50 kilogram.
Akbar mengungkapkan, Unilever merupakan salah satu produsen terbesar berbagai macam produk keperluan rumah tangga dengan kemasan berbahan dasar plastik saset.
Berdasarkan penelitiannya, kemasan produk Unilever terbukti menjadi salah satu produk yang paling banyak mencemari lingkungan, bukan hanya di Indonesia melainkan di Asia Tenggara,
“Kalau kita lihat di data ban audit selama lima tahun belakangan ini, Unilever menjadi salah satu top pencemar atau pencemar utama dalam lima tahun terakhir,” ungkapnya.
“Di Indonesia, Filipina, Vietnam dan India Unilever salah satu top 3 nya penyumbang saset terbesar. Karena kita lihat saset ini multilayer terus jenis plastiknya berbagai macam dan susah didaur ulang,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Akbar menyebut, seharusnya Unilever mampu mengambil dan mengolah kembali sampah yang selama ini mereka hasilkan sehingga tidak mencemari lingkungan.
“Selama ini problemnya adalah ketika konsumsi yang dibebankan konsumen. Konsumen memilah sampah dan buang sampah pada tempatnya, namun setelah itu siapa yang betanggung jawab?” ujarnya.
“Makanya hadirnya produsen itu penting untuk menarik kembali kemasannya, karena pada dasarnya ketika mereka tau cara pembuatannya mereka juga harus tau cara pengolahannya,” pungkas Akbar.