TANGSELIFE.COM – Harga BBM atau bahan bakar minyak ditahan pemerintah sejak awal tahun 2024.

Akhir bulan ini menjadi tenggat waktu terakhir harga BBM ditahan tanpa ada penyesuaian. Itu artinya, kemungkinan akan ada penyesuaian harga BBM pada bulan Juli.

Salah seorang pengamat menilai kenaikan harga BBM kemungkinan besar akan terjadi bulan depan.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan harga BBM termasuk subsidi berpotensi naik bulan depan.

Menurutnya, ada tiga alasan yang membuat harga BBM naik.

Alasan pertama adalah harga minyak saat ini telah berada di atas rata-rata harga minyak yang ditentukan di APBN.

Selanjutnya faktor nilai tukar yang terdepresiasi dan alasan terakhir adalah target lifting yang tak tercapai.

“Tiga variabel ini yang mendorong harga BBM jadi lebih tinggi daripada sekarang,” ucap Komaidi.

Dalam APBN 2024, asumsi harga minyak ICAP ditetapkan sebesar US$ 82 per barel.

Per bulan Mei 2024, harga ICP sendiri ditetapkan sebesar US$ 79,78 per barel, turun dari bulan sebelumnya yang mencapai US$ 87,61 per barel.

Sementara itu, harga minyak dunia acuan Brent ada di lecel US$ 85,95 per barel.

Sedangkan harga minyak mentah acuan West Texas Intermediate (WTI) pada US$ 81,63 per barel.

Kemudian, belakangan ini nilai tukar rupiah memang sedang tertekan oleh Dolar Amerika Serikat.

Parahnya, Dolar menggencet Rupiah sampai ke level Rp16.400 ke atas.

Per hari ini, nilai rupiah dibuka dengan pelemahan ke level Rp16.423.

Dari sisi lifting migas per bulan Mei 2024, baru bisa terealisasi sebesar 561,9 ribu BOPD dari target lifting minyak 635 ribu BOPD.

Outlook dari Kementerian ESDM lifting minyak tahun ini hanya mencapai 595 ribu BOPD.

Jika produksi tak bisa mencapai target, Komaidi menilai kemungkinan impor akan terus dilakukan.

Dari kondisi tersebut, Komaidi menilai ruang fiskal APBD ada pada posisi yang cukup berat dan membutuhkan penyesuaian.

Oleh sebab itu, kenaikan harga BBM bisa dilakukan untuk menjaga kesehatan anggaran negara.

Namun menurutnya, pemerintah bisa saja mengambil pertimbangan politis untuk tak menaikkan harga BBM.

Ia tak ingin banyak memberi anjuran dan memberi pilihan kebijakan pada pemerintah.

Inflasi Bisa Meroket

Di samping itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai belum ada urgensi pemerintah menaikkan harga BBM, terutama yang subisidi.

Walaupun ia mengakui harga keekonomian harga subisidi sudah sangat jauh dari harga pasar, menurutnya pemerintah harus menahan harga.

Baginya justru pergerakan harga minyak dunia saat ini belum signifikan, harga ICP pun masih ada di bawah asumsi APBN.

Meskipun ada masalah pelemahan nilai tukar, namun ia menganggap hal itu tak akan berpengaruh banyak ke harga minyak yang diimpor.

Lebih lanjut, Fahmy mengungkapkan pemerintah juga harus menahan tingkat inflasi tidak naik signifikan.

Jika harga BBM naik, berpotensi menyulut harga-harga komoditas lain yang ikut meroket dan menaikkan tingkat inflasi.

Pada akhirnya, daya beli masyarakat yang menurut digilas inflasi.

Fahmy menganjurkan agar pemerintah tak ikut menahan harga BBM non subsidi, selama harga Pertamax yang bukan subisidi ikut ditahan dengan kompensasi pemerintah kepada Pertamina.

Menurutnya, yang seharusnya ditahan harganya hanya BBM subsidi saja. Sementara untuk BBM non subsidi pemerintah tak perlu ikut ditahan juga sehingga tak perlu membayar kompensasi.

Sejauh ini pemerintah belum menentukan apakah harga BBM akan naik atau tidak bulan depan.

Menko Perekonomian Airlangga Hartanto mengungkapkan, sejauh ini memang belum ada pembahasan mengenai hal tersebut.

Bahkan, dalam rapat Paripurna Kabinet di Istana Negara pun belum membahas soal penyesuaian subsidi, khususnya harga BBM.

Airlangga mengungkapkan akan ada pembahasan tersendiri untuk hal tersebut namun belum dilakukan.

Sejauh ini Airlangga menyatakan, jumlah subsidi BBM telah memiliki ketetapan di APBN 2024. Sejauh ini tak ada niat pemerintah untuk mengubahnya.

Dapatkan Berita Terbaru lainya dengan Mengikuti Whatsapp Channel Tangselife di Ponsel Kamu
Dwi Oktaviani
Editor
Dwi Oktaviani
Reporter