TANGSELIFE.COM – Mahkamah Konstitusi atau MK resmi mengumukan nama hakim konstitusi Suhartoyo sebagai ketua baru di MK.

Terpilihnya Suhartoyo disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra usai rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang berlangsung Kamis, 9 November 2023.

“Hasilnya sudah resmi, yang mulia Bapak Doktor Suhartoyo menjadi Ketua MK ke depan, Wakil Ketua MK saya sendiri,” ujar Saldi Isra.

Saldi mengatakan, proses pemilihan Ketua Mahkah Konstitusi ini dilakukan secara musyawarah oleh para hakim konstitusi.

Dalam rapat tersebut, ujar Saldi, muncul dua nama calon ketua MK, yaitu Suhartoyo dan Saldi Isra. Keduanya kemudian menyepakati agar Suhartoyo menjadi ketua dan Saldi menjadi wakil.

Dalam pemilihan itu, seluruh hakim hadir, yaitu Anwar Usman, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Manahan Sitompul, Suhartoyo, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Guntur Hamzah, dan Daniel Yusmic.

Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK menyatakan Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim.

Atas pelanggaran berat itu, MKMK memberikan sanksi pemberhentian dari Ketua MK.

“(Anwar Usman) terbukti melakukan pelanggaran berat prinsip ketidakberpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, dan prinsip kepantasan dan kesopanan,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie saat membacakan putusan di Gedung I MK, Jakarta, Selasa, 7 November 2023.

Rekam Suhartoyo di Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi
Hakim Konstitusi Suhartoyo

Suhartoyo lahir pada 15 November 1959. Karier hakimnya dimulai dengan menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri (PN) Bandar Lampung pada 1986.

Setelah itu kariernya malang melintang di dunia peradilan Indonesia. Seperti tugas di PN Curup, PN Tangerang, dan PN Bekasi.

Hingga akhirnya Suhartoyo dipercaya menjadi Ketua PN Jaksel pada 2011 sebelum dipromosikan menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar pada 2014.

Dalam hitungan bulan, Suhartoyo lalu dipilih MA menjadi hakim konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi.

Sebagai hakim MK, Suhartoyo ikut mengadili sengketa Pilpres 2019. Selain itu, Suhartoyo terlibat mengadili berbagai judicial review UU yang menarik perhatian masyarakat luas.Di antaranya judicial review UU Cipta Kerja.

Saat itu, Suhartoyo sepakat dengan suara mayoritas bila UU Cipta Kerja tidak memenuhi syarat formil sehingga dibekukan dan harus diperbaiki selama 2 tahun.

Suhartoyo satu suara dengan Saldi Isra, Enny Nurbaninigsih, Aswanto, dan Wahiduddin Adams.

Saat menguji perkawinan beda agama di rezim UU Perkawinan, Suhartoyo menolak gugatan tersebut dengan mengajukan concurring opinion.

Suhartoyo berharap negara tidak menutup mata atas banyaknya pernikahan beda agama di masyarakat.

Oleh sebab itu, Suhartoyo berharap pemerintah dan DPR merevisi UU Perkawinan guna mengakomodasi fenomena pernikahan beda agama.

Adapun dalam Putusan Nomor 90, yang menguji soal usia syarat capres/cawapres, Suhartoyo memilih tidak menerima gugatan yang diajukan mahasiswa Almaas karena tidak memiliki kerugian konstitusional.

“Juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo, sehingga pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbeda (dissenting opinion) saya dalam putusan permohonan a quo,” ucap Suhartoyo.

“Bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, saya berpendapat terhadap permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga tidak memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dan oleh karenanya tidak ada relevansinya untuk mempertimbangkan pokok permohonan, sehingga dalam amar putusan a quo ‘menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima’,” pungkasnya.

Sopiyan
Editor