TANGSELIFE.COM – TikTok kini menjadi platform media sosial yang telah diunduh oleh 3,5 miliar penduduk dunia, sehingga menobatkannya sebagai aplikasi paling populer di kancah internasional.

Diketahui bahwa platform tersebut telah digunakan lebih dari 150 negara dan dilengkapi dengan 35 pilihan bahasa yang beragam.

Adapun pengguna terbanyak aplikasi ini yakni Amerika Serikat dengan total 141 juta akun aktif.

Lebih lanjut, aplikasi ini masuk ke Indonesia pada 2018 lalu dan mulai populer saat terjadinya pandemi Covid-19 yang memungkinkan banyak orang melakukan aktivitas di media sosial.

Sampai saat ini, TikTok masih aktif menjadi wadah untuk membagikan konten-konten menarik dan menghibur para penggunanya.

Namun popularitasnya diramal akan segera memasuki era stagnan, bahkan menurun.

Salah satu penyebabnya karena hilangnya kontrak dengan Universal Music Group yang membuat lagu-lagu artis internasional, seperti Taylor Swift, J Balvin, Coldplay, dihapus dari platform tersebut.

Tanda-tanda berikutnya bisa dilihat dari data terbaru Sensor Tower pada awal 2024 yang menunjukkan pertumbuhan TikTok mulai menurun sepanjang 2023.

Media sisual dengan pengguna aktif bulanan terbanyak sedunia sepanjang tahun lalu diduduki oleh Facebook, diikuti WhatsApp, Instagram, kemudian Messenger.

Selanjutnya, TikTok ada di peringkat ke-5.

Sebenarnya pertumbuhan pengguna masih positif 3% secara rata-rata tiap kuarta sepanjang tahun lalu.

Namun peningkatan itu menurun dari yang sebelunya 12% secara rata-rata tiap kuartal pada 2022.

Penyebab Perlambatan Pertumbuhan TikTok

Pada laporan Slate mengungkapkan penyebab perlambatan pertumbuhan ini dikarenakan sodoran iklan yang membludak di platform tersebut untuk membujuk penggunanya berbelanja di fitur e-commerce yang hadir di dalam aplikasi tersebut.

Selain itu, banyaknya disinformasi yang tersebar dan konten-konten AI yang menjadi spam di platform tersebut bisa disebut sebagai pemicu.

Di sisi lain, terjadi juga gesekan di internal perusahaan ketika TikTok dan induknya, ByteDance, terlibat kasus dugaan diskriminasi gender.

PHK yang dilakukan juga menyebabkan pekerja menjadi khawatir.

Isu diskriminasi gender dikatakan membuat pertumbuhan dan valuasi TikTok secara umum merosot pada akhir 2023.

Slate mencatat bahwa platform ini tak akan lenyap atau berdarah-darah. Namun, platform ini akan menghadapi tekanan dalam usahanya mengganti peran dari media sosial jadi platform e-commerce.

Pendapatan untuk di masa yang akan datang diperkirakan akan lebih berasal dari belanja konsumen di dalam aplikasi, daripada dari pendapatan iklan.

Tak ketinggalan, kondisi geopolitik yang memanas antar AS dan China turut menyudutkan posisi TikTok.

Amerika Serikat telah melarang penggunaan platform tersebut di lingkungan pemerintahan, meskipun secara terang-terangan Presiden Joe Biden membuat akun TikTok untuk kampanye.

Dwi Oktaviani
Editor