TANGSELIFE.COM – Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Seto Mulyadi mengutarakan keprihatinannya terhadap balita tewas di Ciputat, Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang dianiaya orang tua kandungnya.
Ia pun menyinggung rekor MURI yang pernah diraih oleh Tangsel sebagai kota pertama di Indonesia yang memiliki satgas perlindungan anak di tingkat RT dan RW.
Dengan kembali terjadinya kekerasan terhadap anak di Kota Tangsel, apalagi sampai menghilangkan nyawa, ia pun mempertanyakan peran satgas tersebut.
Pria yang akrab disapa Kak Seto itu menegaskan, satgas tersebut sejatinya memegang peran penting dalam menjamin rasa aman dan nyaman bagi anak-anak di lingkungan mereka.
“Tetapi perlu juga dipantau, dimonitor, apakah masih ada? sebetulnya seksi perlindungan anak ini adalah seksi di dalam kepengurusan RT yang betul-betul menjamin anak-anak itu nyaman di dalam keluarganya, di RT-RWnya dan lingkungan kota Tangerang Selatan,” kata Kak Seto di Polres Tangsel pada Jumat, 8 Agustus 2025.
Menurutnya langkah Pemkot Tangsel yang menghadirkan satgas perlindungan anak sampai tingkat RT dan RW sudah tepat.
Hanya saja, peran satgas tersebut harus lebih ditingkatkan agar setiap anak terjamin keamanan dan kenyamanannya dalam kehidupan sehari-hari.
“Ini tentu harus terus diperbadayakan,” ungkap Kak Seto.
Di samping itu, ia pun meminta kepada seluruh orang tua untuk tidak melampiaskan emosi kepada anak.
“Seharusnya emosi jangsn pernah dilontarkan kepada anak, karena anak sangat tidak berdaya,” tuturnya.
Kak Seto pun mengingatkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak bisa mendapatkan sanksi yang lebih berat.
“Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa kekerasan terhadap anak apalagi dilakukan oleh orang tuanya maka sanksi pidananya juga bisa ditambah separuhnya,” jelasnya.
“Jadi semakin berat, karena orang tua harusnya melndungan anak, kok malah melakukan kekerasan,” tambahnya.
Diberitakan sebelumnya, MA (4) seorang balita di Ciputat, Kota Tangsel tewas karena dianiaya orang tua kandungnya.
Aksi penganiayaan itu sedikitnya telah terjadi sebanyak enam kali dalam kurun waktu dua bulan sejak Juni hingga Juli 2025.
Penganiayaan yang dialami korban sendiri bervariatif mulai dari dipukul, ditendang, dijambak hingga dilempar.
Hasil pemeriksaan menunjukan bahwa beberapa tubuh korban mengalami sejumlah luka. Korban sendiri meninggal akibat robeknya organ dalam pada bagian perut yang menyebabkan pendarahan hebat.
Sementara kedua orang tua korban yaitu AAY (26) dan FT (25) sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Kepolisian.
Mereka dijerat dengan Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 35 tahun 2014 atas perubahan UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 44 ayat 3 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Tersangka terancam pidana maksimal hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun.