TANGSELIFE.COM – Pelaku industri di wilayah Tangerang, Banten, kompak menghentikan penggunaan Pembangkit Listri Tenaga Uap (PLTU) milik sendiri dan beralih ke listrik PLN untuk mengurangi polusi udara.

Electric Instrument Manager PT Polychem Indonesia Taufan Prihadi mengatakan kalau pihaknya sudah beralih menggunakan listrik PT PLN (Persero) setelah sebelumnya membangkitkan listri mandiri dari PLTU sebesar 2×15 MW.

Listrik tersebut dipakai untuk membuat bahan baku polyester yakni etilen glikol.

“Untuk mengurangi polusi udara, kami mempensiunkan PLTU yang sebelumnya dikelola mandiri untuk menekan emisi,” katanya.

Selain tak lagi menggunakan batu bara untuk membangkitkan listrik, perusahaan jauh lebih hemat dari sisi operasional karena pengeluaran biaya listrik hampir Rp10 miliar per bulan apabila menggunakan pembangkit listrik.

Menurutnya, saat masih menggunakan PLTU, konsumsi batu bara kurang lebih mencapai 740 ton per hari.

Manajemen perusahaan juga memperoleh nilai positif dalam penggunaan listrik PLN, apalagi kebijakan energi manajemen selaras dengan kebijakan pemerintah untuk segera mencapai net zero emission pada 2060.

Sementara itu seorang Pakar Komunilogi dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing mengatakan kalau kualitas udara di Provinsi Banten jauh lebih baik jika dibandingkan dengan di Jakarta meski letaknya dekat dengan PLTU yang dianggap sebagai salah satu sumber polutan.

Menurutnya, banyak ahli lingkungan yang memaparkan buruknya kualitas udara di Jakarta akibat transportasi yang tak kunjung terselesaikan.

Meski PLTU Menyumbang Polusi Udara, Namun Sektor Transportasi Penyumbang Tertinggi

Beberapa waktu lalu beredar informasi dari seorang warganet yang mengungkap kalai kepulan asap polusi berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) terutama di Suralaya, Banten, yang berbasis Batu Bara.

Namun, pemerintah langsung menepis pernyataan tersebut dan mengungkapkan kalau polusi tertinggi disebabkan oleh transportasi.

Dari hasil paparan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya, terkait peningkatan kualitas udara Jabodetabek.

Ia menunjukkan sektor transportasi berkontribusi sebesar 44% dari penggunaan bahan bakar di Jakarta, diikuti industri energi 31%, manufaktur industri 10%, sektor perumahan 14%,  dan komersial 1%.

Dari sisi penghasil emisi karbon monoksida (CO) terbesar, disumbang dari sektor transportasi 96,36% atau 28.317 ton per tahun, disusul pembangkit listrik 1,76% atau 5.252 ton per tahun, dan industri 1,25% atau sebesar 3.738 ton per tahun.

Ia juga menepis kabar polusi udara berasal dari PLTU Suralaya, Cilegon.

Dari analisisnya, pencemaran udara tidak bergerak ke arah Jakarta, melainkan ke Selat Sunda.

Dapatkan Berita Terbaru lainya dengan Mengikuti Google News Tangselife