TANGSELIFE.COM – Di zaman yang semakin modern ini pinjol atau pinjaman online menjadi salah satu alternatif masyarakat yang tengah membutuhkan dana.

Salah satu alasan yang membuatnya digandrungi oleh semua kalangan adalah kemudahan dalam mendapatkan pinjamannya.

Belakangan ini pinjaman online tak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, melain gaya hidup yang semakin intens.

Beberapa persyaratan yang kerap tak diperhatikan para peminjam adalah besaran bunga yang tinggi dan biaya aplikasi.

Mereka hanya terfokus pada persyaratan dasar yang mudah, yakni foto diri dan KTP saja.

Dalam proses penagihannya, pinjaman online ilegal akan meneror hingga mengancam para debitur untuk segera melunasi utang tersebut jika sudah melewati tenggat waktu pembayaran.

Oleh karena itu, muncul banyak korban pinjaman online yang ‘gali lubang-tutup lubang’ dikarenakan tenggat waktu tersebut.

Istilah tersebut merujuk pada seseorang yang melakukan pinjaman lagi untuk menutup pinjaman sebelumnya.

Lantas, bagaimana hukum pinjaman online dari pandangan Islam?

Hukum Pinjaman Online dari Pandangan Islam

Pada dasarnya Islam tidak melarang hubungan pinjam-meminjam.

Bahkan, dianjurkan agar terjadi hubungan saling menguntungkan yang pada akhirnya berujung pada hubungan persaudaraan.

Namun yang perlu diperhatikan adalah hubungan pinjam meminjam tersebut yang tidak mengikuti aturan yang diajarkan oleh syariat Islam.

Dari buku Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik yang diciptakan oleh Muhammad Syafi’i Antonio, penggunaan kata pinjam-meminjam dalam perbankan syariah kurang tepat jika digunakan sehari-hari.

Alasan pertama karena pinjaman merupakan metode hubungan finansial dalam Islam.

Masih banyak metode yang diajarkan oleh syariah selain pinjaman, seperti jual beli, bagi hasil, sewa, dan sebagainya.

Alasan kedua, dalam Islam pinjam-meminjam adalah akad sosial, bukan akad komersial.

Oleh karenanya, seseorang yang melakukan pinjaman tak boleh disyaratkan untuk memberikan tambahan atas pokok pinjamannya (bunga).

Hal tersebut didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa setiap pinjaman yang menghasilkan keuntungan adalah riba, sedangkan para ulama sepakat bahwa riba itu haram.

Berdasarkan syariat Islam, lembaga atau orang yang mempraktikan pinjaman online hendaknya memperhatikan beberapa hal berikut ini:

1. Tidak menggunakan praktik ribawi

Riba dalam berpiutang adalah sebuah penambahan nilai atau bunga melebihi jumlah pinjaman saat dikembalikan dengan nilai tertentu yang diambil dari jumlah pokok pinjaman untuk dibayarkan oleh peminjam.

Larangan praktik riba disebut secara eksplisit dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 275.

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

2. Tidak menunda pembayaran utang

Hukum menunda pembayaran utang bagi seseorang yang mampu adalah haram.

Rasulullah SAW bersabda, “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” (HR. Nasa’i).

Dalam hadis riwayat Imam Buhori disebutkan, “Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…” (HR. Bukhori)

3. Memberi keringanan kepada orang yang tidak mampu membayar utang

Memaafkan orang yang tidak mampu membayar utang termasuk perbuatan mulia.

Hakikatnya utang harus dibayar, bahkan jika yang berutang sudah meninggal, maka ahli warisnya punya kewajiban untuk melunasi.

Namun, bagi orang yang meminjamkan, jika orang yang meminjam uang betul-betul tidak bisa melunasi utangnya, maka memaafkannya adalah perbuatan mulia dalam ajaran Islam.

Pinjaman online bisa dikatakan haram jika lembaga atau orang sebagai peminjam memberikan ancaman hingga membuka rahasia atau aib seseorang kepada orang lain.

Pinjaman-Pinjaman yang Diperbolehkan dalam Islam

Dengan uraian di atas bisa disimpulkan bahwa tak sepenuhnya pinjaman online dianggap haram, selagi tak ada unsur riba di dalamnya.

Seperti dikutip dari lama resmi MUI, pinjam uang dengan cara online boleh saja dilakukan.

Adapaun pinjaman-pinjaman yang diperbolehkan adalah ketika seseorang yang berutang memiliki niat secepatnya untuk melunasi utang tersebut apabila sudah mendapatkan rezeki.

Dengan tidak menundanya, maka hukum pinjaman tersebut diperbolehkan.

Sementara itu, bagi peminjam yang secara ikhlas memberikan pinjamannya dan berniat untuk menolong, maka pinjaman tersebut juga menjadi diperbolehkan hukumnya.

Namun, secara adab dan etika, utang tetaplah harus dibayar.

Demikian hukum pinjaman online dari pandangan Islam, semoga bisa memberikan informasi agar umat Muslim bisa menggunakan finansialnya lebih bijak lagi.