TANGSELIFE.COM – Informasi seputar dampak KRIS terhadap iuran Kelas BPJS Kesehatan bisa disimak pada artikel ini.

Sebagai informasi, pengganti kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan yakni Kelas Rawat Inap (KRIS) di seluruh rumah sakit direncanakan akan dimulai Juni 2025.

Namun hingga saat ini, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI masih menemuni sejumlah kendala terkait perbaikan fasilitas pelayanan sesuai KRIS di sejumlah rumah sakit.

Di antaranya yakni masih banyak rumah sakit yang belum mampu menyiapkan stok oksigen serta kamar mandi di dalam setiap ruang rawat inap.

Upaya penggantian kelas 1, 2, dan 3 menjadi KRIS tak lain demi meningkatkan fasilitas yang akan didapatkan peserta BPJS.

“Kita sama-sama tahu, bahwa masih banyak RS kita satu kelas itu 6 sampai 8 kamar tanpa kamar mandi.”

“Kita bisa bayangkan kalau mereka sakit dan butuh ke kamar mandi, harus keluar ruangan dulu, antre, ini kasihan.”

“Karena itu dibuat dengan KRIS, meningkatkan pelayanan kita daripada masyarakat,” kata Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI Azhar Jaya saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Rabu 27 Maret 2024.

Untuk itu, Azhar berpendapat bahwa penerapan KRIS di seluruh RS Indonesia memerlukan waktu.

Meskipun jika mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64, regulasi KRIS sudah diwacanakan secara bertahap pada Desember 2020 dan diakhiri pada 2022.

Di samping itu, Azhar mengatakan bahwa tak semua ruangan rawat inap dapat diubah menjadi sesuai ketentuan KRIS.

Iuran Kelas BPJS Kesehatan Jika KRIS Berlaku

Lebih lanjut, tidak sedikit rumah sakit yang khawatir akan kemungkinan besaran iuran yang bakal diterapkan.

Termasuk, kemungkinan kenaikan iuran kelas BPJS Kesehatan mengingat adanya perbaikan fasilitas.

“Kalau kita tanya yang swasta, ini sebenarnya menanyakan di lapangan, ‘Kalau nanti KRIS itu ditetapkan maka tarifnya kelas 1, 2, 3 atau kelas berapa? Kami butuh kepastian itu.”

“Mendorong mereka, apakah karena membatasi tempat ada kenaikan tarif,” ungkapnya.

Terkait kemungkinan kenaikan iuran kelas BPJS Kesehatan itu, saat ini masih menjadi pembahasan sejumlah pihak terkait.

“Kalau kami di Kemenkes RI sih propose kelas 2, tapi kan ini harus dibicarakan dengan kemampuan BPJS dan sebagainya,” kata Azhar.

“Sebenarnya swasta menunggu itu, ini yang sedang kami bicarakan dengan rekan-rekan kami terkait BPJS ini,” lanjutnya.

Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Prof Ghufron Mukti mengungkapkan soal kemungkinan penetapan iuran kelas BPJS Kesehatan usai diberlakukannya KRIS.

Menurut Ghufron, belum ada peraturan terkait kebijakan yang disampaikan ketua dewan, tarif, dan kelas.

“Yang jelas kami sampaikan kalau iurannya sama, iurannya ya, katakanlah Rp70.000 (untuk) miskin dan kaya Rp70.000. Itu menyalahkan prinsip kesejahteraan sosial,” kata Prof Ghufron.

Ghufron mengatakan jika iurannya sama, maka justru akan mempersulit masyarakat miskin.

Ia pun menegaskan bahwa jaminan kesehatan BPJS Kesehatan menggunakan konsep gotong royong.

“Kenapa? (Menyalahi prinsip kesejahteraan sosial). Lah kita ini bergerak berbasis pada gotong royong.”

“Kalau gotong-royong orang kaya bayar Rp70.000 ringan, orang miskin jangankan (Rp70.000), Rp42.000 saja disampaikan yang nunggak banyak,” pungkas dia.