Malam yang gelap kini berganti dengan pagi yang begitu menyejukkan. Mentari kini mulai berseri di ufuk timur menghiasi indahnya cakrawala dengan semburat warna oranye. Sinarnya menerobos sela-sela dedaunan dan terjatuh di tanah membentuk pola-pola yang indah. Terlihat Dini duduk di teras rumah sambil memejamkan mata, merasakan sejuknya udara pagi dengan menarik napas perlahan menghebuskan beberapa kali.
Dini merasakan sebuah sentuhan di pundaknya.
“Ibu? Bikin Dini kaget aja,”
Mata Dini sekejap terbuka karena sentuhan ibu nya secara tiba-tiba.
“Ayo kita berangkat sekarang ke ladang.”
Yanti mengajak Dini pagi-pagi sekali ke ladang cabai sambil membawa bekal untuk makan siang.
Sesampainya di ladang cabai, Yanti dan Dini mulai mempersiapkan diri untuk memetik cabai yang sudah siap dipanen. Dari kejauhan tampak dua orang lelaki yang terlihat mengawasi kegiatan mereka serta melihat-lihat kearah ladang cabai.
Dua orang lelaki tersebut berjalan mendekat.
“Sibuk panen Mbak Yanti?” tanya salah satu lelaki yang bernama Ruslan.
“Iya, alhamdulillah Pak Ruslan. Pak Ruslan juga mau panen?” Yanti balik bertanya.
“Iya Mbak Yanti, kita mau panen juga.”
“Saya kok nggak lihat Pak Samsul ikut. Biasanya Pak Samsul paling rajin ikutan metik kalau pas lagi panen”
“Pak Samsul kena musibah Mbak Yanti. Kemarin, katanya habis terjatuh di kamar mandi.” Jelas Ruslan.
“Ooo..”
Tidak ada jawaban lagi keluar dari mulut Yanti.
“Kok bisa ya cabai-cabai Mbak Yanti terlihat segar-segar. Padahal rata-rata petani cabai di desa ini pada mengeluh karena cabainya jelek terkena hama.” sambil mengamati ladang cabai, Ruslan bertanya.
“Ya.. saya juga tidak tahu pak. Saya mencoba merawat cabai-cabai ini dengan baik. Syukurlah kalau dia jadi tumbuh dengan baik. Mungkin hamanya kasihan dengan seorang janda seperti saya jadi tidak mau menyerang cabai-cabai saya.”
Yanti menjawab sambil melayangkan sebuah gurauan.
“Ah.. bisa saja Mbak Yanti. Ya sudah Mbak, silahkan dilanjut aktivitasnya, permisi”
Ruslan menyudahi percakapan lalu berpamitan.
Sambil meninggalkan ladang, Ruslan terlihat berbisik-bisik dengan teman nya. Sampai akhirnya mereka berdua memasuki ladang cabai milik Samsul yang terletak tidak jauh dari ladang Yanti.
Matahari bersinar cukup terik sehingga Yanti dan Dini memutuskan menghentikan aktivitasnya sejenak. Lalu, mereka berteduh di sebuah gubuk kecil di tepi jalan depan ladang cabai mereka. Keduanya mulai membuka bekal makan siang dan menyantapnya.
Di tengah kegiatan makan siang, terlihat dua orang perempuan yang berjalan di depan mereka lalu menundukan kepala tanda sebuah sapaan. Sambil berjalan, kedua perempuan tersebut terdengar sedang membicarakan Lusi yang tiba-tiba menjadi bisu usai pingsan di depan pintu rumah nya saat tengah malam.
“Uhuk.. uhuk” Dini tersedak, lalu segera meminum segelas air putih yang berada di depannya.
“Kamu kenapa, Din?” Yanti bertanya.
“Dini kaget Bu, denger cerita tentang Lusi yang diomongin dua orang barusan. Apa Ibu ngga denger?”
“Iya, Ibu denger.”
“Kok Ibu responnya biasa aja?”
“Ya emang harus gimana lagi, namanya juga musibah. Ya sudah segera selesaikan makan nya. Habis ini kita bereskan cabai-cabai biar segera pulang ke rumah.”
Yanti mengemasi peralatan makan dan mulai beranjak untuk melakukan aktivitas nya kembali.
**
Malam jumat kedua usai kejadian yang menimpa Lusi, kini seolah datang kembali. Kondisi yang saat seperti malam itu. Di tengah malam, kabut mulai turun menyatu dengan dewa kegelapan menggambarkan suasana yang begitu kelam. Entah apalagi yang akan terjadi malam ini.
Manuk Dares kembali berirama dan bertengger di sebuah pagar rumah bercat putih.
Di tengah kesunyian malam. Suara seretan kaki itu kembali terdengar, sosok misterius berjubah hitam dengan penutup kepala berdiri di depan pintu sebuah rumah. Ritual yang sama seperti sebelumnya.
“Tok.. tok.. tok”
“Siapa?”
Ruslan berteriak dari dalam rumah sambil berjalan mendekati pintu.
“Tolong saya!”
Dengan suara serak dan tak begitu jelas, sosok misterius itu mulai bersuara.
“Ceklek”
Pintu terbuka.
“Siapa kamu? Apa yang bisa saya bantu?,”
Tanpa basa-basi Ruslan bertanya pada sosok berjubah hitam yang masih menundukkan kepala. Sama seperti kejadian sebelumnya, sosok misterius itu mulai mengangkat kepala dengan tatapan tajam menatap mata Ruslan sambil berkomat-kamit. Ruslan membalas tatapan itu tanpa berkedip hingga tak terasa tubuh nya begitu lemas, seolah seluruh energinya terserap oleh sosok itu.
Hingga akhirnya Ruslan terjatuh tak sadarkan diri di depan pintu. Sosok misterius itu meninggalkan Ruslan di depan pintu rumah nya dengan keadaan yang sudah tidak berdaya.
**
Isak tangis terdengar di rumah keluarga Ruslan. Ruslan dinyatakan meninggal dunia di depan pintu rumah nya pada besok pagi setelah kejadian itu. Kematian Ruslan menyeruak ke seluruh penjuru desa. Desas-desus tamu di tengah malam yang menjadi penyebab kematian Ruslan menyebar begitu cepat.
Dua kejadian yang hampir sama terjadi di Desa Winong. Sejak saat itu, Kepala Desa memutuskan untuk mengaktifkan kembali Siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan) yang sebelumnya sudah tidak aktif karena Desa Winong dianggap aman-aman saja.
Setiap malam nya akan ada satu petugas yang berjaga dengan ditemani dua warga lain, jadwal bergilir sesuai urutan nomor rumah. Kini, usai azan isya berkumandang pintu rumah warga tertutup rapat dan mereka sudah tidak menerima tamu. Bahkan, untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan, beberapa warga sampai memasang CCTV hingga lubang pengintip di depan pintu.
**
“Ibu sudah dengar tentang kematian Pak Ruslan?” tanya Dini.
“Iya, Ibu sudah dengar.”
“Kok serem ya Bu penyebab kematian Pak Ruslan. Tapi anehnya kejadian itu sama kayak yang dialami Lusi. Tapi kok aneh, Lusi cuma jadi bisu saat membuka pintu untuk tamu tengah malam. Sedangkan Pak Ruslan? Kenapa langsung meninggal?”
“Sudah Din, tidak usah memikirkan hal di luar nalarmu.” Jawab Yanti.
“Tapi, Dini penasaran aja gitu Bu.”
“Tidak usah di pikirkan terlalu keras. Ibu mau ke ladang. Kamu di rumah saja ya,” pamit Yanti.
Di depan rumah, Yanti mendengar suara kaki menyeret dan sudah tahu siapa pemilik suara itu.
“Mau ke ladang Pak Samsul,”
Tegur Yanti sambil tersenyum menyapa Samsul yang berjalan keluar rumah.
“Iya.”
Jawab Samsul dengan singkat. Entah apa yang membuat Samsul selalu menatap Yanti dengan begitu sinis.
Yanti berjalan menuju ladang nya dengan melewati ladang milik Samsul. Dia berhenti sejenak di depan ladang Samsul sambil menyunggingkan senyum kecil.