TANGSELIFE.COM – Polisi masih terus lakukan penyelidikan kasus sekeluarga bunuh diri di apartemen Jakarta Utara. Terbaru anak-anak dalam keluarga ini sempat menolak ikut bunuh diri.

Hal itu terungkap setelah paka psikologi forensik, melakukan pendalaman terhadap kasus itu, dimana ankanya JL (15) dan JWA (13) sebenarnya menolak ikut bunuh diri.

Paka psikologi forensik, Reza Indragiri, mengatakan, bahwa ada penolakan dari kedua anak itu, namun mereka tetap dipaksa kedua orangtuanya dengan cara diikat sebelum melompat.

“Urgent untuk bangun perspektif ketika anak dibawa ke situasi fatal, narasi mereka sekeluarga bunuh diri harus dikoreksi. Kalau dua orang dewasa bunuh diri wajar, kalau dua anak harus dipandang mereka tidak mau, tidak punya konsen melakukan itu,” ujar Reza.

Lanjut Reza, anak yang diikat orangtuanya ini, justru memperkuat dugaan bahwa para anak tersebut dipaksa bunuh diri.

“Ini memperkuat dugaan saya, bahwa dua anak ini dipaksa dengan cara apa pun, sampai diikat sehingga berakibat hilangnya nyawa,” paparnya.

Dari hal itu, Reza curiga bahwa sebenarnya dua anak tersebut merupakan korban pembunuhan orangtuanya.
Sehingga keduanya lebih tepat disebut sebagai korban dalam kasus tersebut.

“Alih-alih disebut pelaku bunuh diri, lebih tepatnya disebut korban bunuh diri untuk keduanya ini,” paparnya.

Reza juga menyebutkan, bahwa anak harus dipandang sebagai korban dalam peristiwa yang mengerikan seperti di Penjaringan.

Sebelumnya, aparat kepolisian mengungkapkan empat korban bunuh diri melompat dari Apartemen Teluk Intan dalam kondisi tangan terikat ketika jatuh secara bersamaan.

Para korban terakhir menempati salah satu unit di apartemen tersebut sekitar dua tahun lalu sebelum akhirnya kembali kemarin.

“Pada saat terjatuh itu masih dalam kondisi EA (50 tahun) dan JL (15) terikat tangannya dengan tali yang sama. AEL (52) terikat tali yang sama dengan JWA (13), ikatan tali tersebut mengikat,” pungkas Kapolsek Metro Penjaringan Kompol Agus Ady Wijaya.

Sopiyan
Editor