TANGSELIFE.COM – Setiap tanggal 30 September diperingati sebagai hari peringatan Gerakan 30 September PKI atau G30S PKI. Gerakan ini salah satu upaya untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Sukarno pada 1965.
Gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) itu dipimpin oleh DN Aidit untuk kudeta kepemimpinan Sukarno. Gerakan ini dilakukan dalam satu malam pada 30 September hingg 1 Oktober 1965.
Dalam persitiwa G30S PKI itu ada enam perwira yang menjadi korban diantaranya Letnan Jendral Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jendral Raden Soeprapto, Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jendral Siswondo Parman, Brigadir Jendral Donald Isaac Panjaitan, dan Brigadir Jendral Sutoyo Siswomiharjo.
Soal sejarah G30S PKI ini, guru sejarah SMAN 3 Tangsel Suwarti mengatakan, topik tentang pemberontakan dan ideologi PKI masih kontroversial di kalangan siswa.
Suwarti menjelaskan, bahwa meski PKI memiliki peran dalam perjuangan kemerdekaan, seperti dalam pemberontakan tahun 1926 yang dipimpin Semaun dan Darsono melawan kolonial Belanda, metode perjuangan mereka yang keras berujung pada penangkapan para tokoh tersebut oleh Belanda.
“PKI memainkan peran penting dalam mengorganisir buruh dan petani, tetapi tindakan mereka yang terlalu radikal membuat tokoh-tokoh seperti Semaun dan Darsono ditangkap setelah pemberontakan 1926,” jelas Suwarti kepada tangselife.com, Senin, 30 September 2024.
Pemberontakan bersenjata tersebut ditekan dengan kekuatan penuh oleh pemerintah kolonial, yang melemahkan pengaruh PKI selama bertahun-tahun. Namun, generasi muda cenderung tidak memahami secara rinci peristiwa ini.
Suwarti menyebutkan bahwa kebanyakan siswa hanya mengetahui PKI melalui cerita yang mengandung bias, dan tidak melihat konteks sejarah yang lebih dalam.
“Banyak siswa hanya mendengar tentang PKI dari cerita luar kelas. Mereka tidak tahu detail peristiwa seperti pemberontakan 1926, meskipun ini adalah salah satu upaya awal melawan Belanda,” tambahnya.
Suwarti juga menyoroti bahwa banyak siswa memandang PKI sebagai ancaman terhadap Pancasila, yang menciptakan pandangan bahwa peran PKI dalam memperjuangkan kemerdekaan kurang signifikan.
Hal Ini dipengaruhi oleh narasi yang berkembang setelah peristiwa 1965 dan runtuhnya komunisme global sejak tahun 1990-an.
“Siswa sering melihat PKI sebagai organisasi yang berusaha menghancurkan Indonesia dan Pancasila, tanpa memahami kontribusi mereka dalam pergerakan nasional,” ungkap Suwarti.
Suwarti menekankan pentingnya guru sejarah memberikan perspektif yang lebih seimbang dan objektif, agar siswa bisa memahami dinamika sejarah PKI secara lebih luas. Dengan pemahaman yang mendalam, siswa diharapkan bisa menilai sejarah secara kritis tanpa terjebak dalam narasi tunggal.
“Saya selalu mendorong siswa untuk melihat sejarah dari berbagai sudut pandang dan menyadari bahwa meskipun kontroversial, PKI tetap merupakan bagian dari sejarah bangsa kita,” tutup Suwarti. (Muhammad Rafi Azhar/MG UMJ)