TANGSELIFE.COM– Wacana perubahan sistem Pemilu 2024 saat ini tengah jadi perdebatan publik karena ada informasi akan diubah jadi proporsional tertutup.

Polemik wacana perubahan sistem Pemilu 2024 mencuat setelah gugatan uji materi Pasal 168 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Padahal, sistem pemilu proporsional tertutup banyak ditolak dibandingkan yang terbuka. Hingga kini, polemik itu terus bergulir.

Sistem Pemilu
Daftar partai politik (parpol) yang akan bersaing dalam Pemilu 2024 nanti.

Pasal 168 Ayat 2 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Selain membuat polemik di publik, sembilan partai politik (parpol) di DPR RI juga menolak perubahan sistem proporsional terbuka ke sistem tertutup.

Hanya PDI Perjuangan (PDIP) satu-satunya partai yang menyetujui adanya perubahan sistem pemilu yang dianut di Tanah Air tersebut.

Alasannya sederhana, PDIP menilai kalau sistem proporsional terbuka membuat biaya Pemilu 2024 menjadi mahal.

Alasan PDIP lainnya terkait sistem pemilu tertutup akan membuat partai politik mengedepankan kualitas kader untuk duduk jadi anggota DPR, DPRD kabupaten/kota dan provinsi.

Sebaliknya, jika pemilu dilaksanakan dengan sistem terbuka, maka parpol lebih memilih untuk mengusung kader dengan tingkat popularitas yang tinggi.

Tentu hal tersebut menunjukkan bahwa kualitas calon wakil rakyat dari parpol akan dinomorduakan pada Pemilu 2024.

“Kami tidak ingin tersandera kapitalisasi dalam pemilu dengan sistem terbuka, yang memang sangat liberal, sangat kapitalistik,” terang Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Senin 29 Mei 2023

“Apalagi sistem pemilu terbuka proporsional yang memang ujungnya sangat (mementingkan) popularitas dan berbiaya mahal,” cetusnya juga.

Tapi alasan PDIP itu langsung ditolak delapan parpol lain di DPR RI. Mereka kompak menolak penerapan sistem Pemilu 2024 dengan sistem tertutup.

Karena dengan sistem proporsional terbuka maka masyarakat mengenal wakilnya yang duduk di DPR RI, DPRD kota/kabupaten dan provinsi.

Delapan parpol yang menolak itu adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai NasDem, PKB, Partai Demokrat, PKS, PAN dan PPP.

Delapan parpol itu menilai bahwa wacana perubahan sistem Pemilu di Tanah Air justru akan menjadi kemunduran sistem demokrasi.

Bahkan delapan parpol itu menyatakan sikap menolak adanya perubahan sistem Pemilu yang ditandatangani pada 3 Januari 2023 tersebut.

Delapan partai itu berkomitmen untuk terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju dengan menolak sistem proporsional tertutup.

Karena itu, delapan parpol itu menolak wacana perubahan sistem Pemilu tersebut, dan meminta MK konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008.

Para ketua parpol itu juga meminta MK untuk tetap mempertahankan pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 sebagai upaya untuk menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.

Selain itu juga, delapan parpol itu mengingatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja sesuai amanat UU, tetap independen, dan hanya mewakili kepentingan rakyat dan negara.

Perbedaan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup

Untuk diketahui, sistem Pemilu proporsional terbuka merupakan sistem pemilihan yang telah diterapkan di Indonesia sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019.

Adapun sistem proporsional terbuka merupakan sistem yang memberikan kewenangan kepada pemilih untuk memilih langsung calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh partai politik.

Pemilihan caleg itu dilakukan para pemilih saat mencoblos di bilik suara dan bukan sesuai nomor urut calon legislatif DPR, DPRD kota/kabupaten dan provinsi di suatu daerah pemilihan.

Dengan sistem pemilu proporsional terbuka, maka masyarakat dapat secara langsung melihat nama atau foto kandidat dalam pencoblosan.

Selanjutnya, kertas suara yang telah dicoblos oleh pemilih akan dimasukkan ke dalam surat suara dan dilakukan penghitungan oleh panitia pemilu.

Caleg yang berhasil memperoleh suara terbanyak, maka akan ditetapkan sebagai anggota legislatif DPR dan DPRD kota/kabupaten dan provinsi terpilih.

Sistem pemilu proporsional terbuka mulai diterapkan di Indonesia pada Pemilu 2004 dan masih digunakan dalam pelaksanaan Pemilu 2019.

Penggunaan sistem pemilu terbuka ini sesuai UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Kebalikannya, sistem pemilu proporsional tertutup, maka pemilih tidak dapat memilih secara langsung para calon legislatif.

Para pemilih hanya dapat memilih gambar partai politik yang menjadi peserta pemilu. Jadi kewenangan memilih caleg untuk duduk di parlemen kewenangan penuh partai politik.

Proses pelaksanaan pemilu dengan sistem proporsional tertutup, pemilih mencoblos  logo partai pada surat suara yang disediakan.

Sistem pemilu proporsional tertutup itu pernah menjadi sistem yang digunakan di Indonesia dalam pelaksanaan Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru dan Pemilu 1999.